Skip links

Industri farmasi berkualitas

Baca dalam bahasa Inggris

https://bisnisindonesia.id/article/industri-farmasi-berkualitas

Indonesia baru-baru ini mengambil reformasi perundangan dan relaksasi aturan untuk mendorong pertumbuhan melalui UU Cipta Kerja yang kontroversial itu, pada intinya menghapus beberapa pembatasan yang menahan investasi asing.

Pada saat yang bersamaan, Indonesia sedang mengejar agenda manufaktur lokal, dengan ambisi untuk mempercepat pertumbuhan dan investasi dengan mewajibkan perusahaan untuk memproduksi secara lokal dengan imbalan akses pasar atau kontrak pengadaan pemerintah.

Sektor farmasi yang menjadi fokus pembahasan khusus tulisan ini. Sasaran kebijakan utama membina industri farmasi Indonesia untuk mencapai pasokan obat-obatan yang lebih murah, lebih aman, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Langkah awal telah diambil untuk memperkuat sektor farmasi dengan UU Omnibus Cipta Kerja. Investor menyambut baik penghapusan persyaratan bagi perusahaan untuk “bekerja” yaitu dalam produksi bat-obatan yang dipatenkan secara lokal atau mengambil risiko lisensi wajib. Tetapi Keputusan tingkat Menteri misalnya Kementerian Kesehatan No 1010, yang diperkenalkan pada tahun 2008, tetap ada.

Keputusan ini mencegah perusahaan mendapatkan izin edar untuk obat-obatan mereka kecuali mereka terdaftar sebagai ‘industri farmasi lokal’. Dengan kata lain, tidak ada akses ke pasar farmasi Indonesia kecuali perusahaan membuat fasilitas manufaktur lokal atau mentransfer hak kekayaan intelektual ke perusahaan farmasi lain yang memilikinya.

Perusahaan juga harus memproduksi obat-obatan secara lokal dalam waktu lima tahun sejak impor pertama, kecuali untuk obat-obatan yang dilindungi paten.

Dalam pengadaan publik, pemerintah Indonesia juga mengutamakan obat-obatan dengan kandungan lokal yang lebih tinggi berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018
tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Kebijakan ini memiliki tujuan yang sah untuk memperkuat industri farmasi lokal. Negara-negara dari Inggris hingga Arab Saudi mencoba melakukan hal yang sama. Tetapi strategi Indonesia untuk membangun tembok di sekeliling industri lokal mungkin memiliki beberapa hasil yang tidak diharapkan.

Hasil yang Tidak Diharapkan

Manufaktur farmasi modern semakin kompleks, dan sering terjadi di lebih dari satu negara dalam apa yang disebut “rantai nilai global”. Ketentuan kandungan lokal yang ketat dapat mengancam pasokan semua, kecuali obat-obatan yang paling dasar. Hal ini dapat diterima dalam kasus darurat kesehatan nasional atau pandemi, yang menciptakan risiko kesehatan masyarakat yang nyata.

Aturan yang mengharuskan proporsi tertentu dari obat-obatan untuk diproduksi secara lokal juga dapat merusak akses ke obat-obatan yang inovatif dan dipatenkan. Banyak dari obat-obatan ini hanya dibuat di luar negeri, karena tidak layak secara komersial untuk membuat pabrik baru di seluruh dunia.

Tanpa pengecualian khusus di sekitar produk tersebut, obat-obatan buatan luar negeri mungkin tidak tersedia di Indonesia, merugikan pasien yang mengandalkan terapi inovatif untuk kanker, penyakit langka, dan lainnya.

Bahkan jika ada banyak pemasok asing yang melayani pasar global, persyaratan untuk memprioritaskan produsen lokal – dan mungkin hanya ada satu untuk obat tertentu – memberikan monopoli de facto . Hal ini menyebabkan harga yang melambung dan pasokan yang tidak dapat diandalkan jika pabrikan itu gagal. Hal ini berlaku untuk obat generik esensial dan obat khusus yang lebih kompleks.

Mengganggu rantai pasokan global untuk mendirikan pabrik lokal untuk mematuhi aturan pengadaan pemerintah menimbulkan biaya. Ini sering berarti obat-obatan yang diproduksi secara lokal lebih mahal, sebagai contoh di Vietnam penawaran lokal yang memenangkan tender pengadaan pemerintah bisa 150-250% lebih tinggi daripada produk impor . Obat- obatan ARV yang dibawa ke Afrika melalui pengadaan internasional dapat mencapai 25% lebih murah daripada yang diproduksi secara lokal.

Pengeluaran Indonesia dalam penelitian dan pengembangan (R&D) tergolong rendah menurut standar internasional, yaitu 0,2% dari PDB. Angka ini perlu dinaikkan jika ingin maju secara ekonomi. Namun, negara-negara yang telah mengikuti jalan yang serupa dengan Indonesia di bidang farmasi mengalami tingkat investasi yang sangat rendah dalam uji klinis. Investasi di sini penting karena membawa keterampilan, pengetahuan, dan dapat bertindak sebagai titik masuk ke R&D farmasi yang bernilai lebih tinggi.

Secara lebih luas, kemungkinan upaya untuk mendorong industri lokal dengan melindunginya dari persaingan internasional akan menghasilkan ekonomi yang kurang inovatif dan kurang produktif.

Dalam analisis global persyaratan konten lokal, OECD menemukan kebijakan tersebut menghambat inovasi dengan menghapus akses ke input berteknologi maju. Keuntungan efisiensi dari rantai nilai global dirusak.

OECD juga menemukan bahwa kebijakan ini menumpulkan daya saing ekonomi yang lebih luas dengan menciptakan “ekonomi ganda” yang tidak seimbang dan tidak berkelanjutan, dengan pertumbuhan produktivitas yang lemah di sektor-sektor yang tidak disukai. Inefisiensi di sektor lain yang disebabkan oleh persyaratan kandungan lokal mengurangi pertumbuhan pekerjaan dan potensi skala ekonomi.

Langkah Ke Depan

Indonesia tepat jika ingin mendorong manufaktur farmasi lokal. Sektor farmasi yang kuat memberikan pekerjaan dengan gaji tinggi, pertumbuhan ekonomi, dan akses yang lebih cepat ke obat-obatan. Tetapi ada cara yang lebih baik untuk mencapainya.

Misalnya berkaca dari Singapura. Sejak tahun 2000 telah berubah dari produsen farmasi marjinal menjadi pusat global dan regional untuk investasi biofarmasi di seluruh rantai nilai inovasi dan manufaktur.

Itu dilakukan dengan menjadi tempat yang lebih menarik untuk investasi melalui pendekatan holistik: reformasi pendidikan dan infrastruktur ilmiah; meningkatkan akses ke keuangan dan infrastruktur fisik dan lingkungan yang mendukung untuk regulasi dan hak kekayaan intelektual yang dilindungi. Perusahaan dan investasi telah berbondong-bondong.

Pelajaran bagi Indonesia tidak lain dari kolaborasi dan transfer sukarela keterampilan teknologi dan modal yang datang dengan investasi dapat menghasilkan hal-hal besar. Indonesia memiliki orang, sumber daya , dan geografi untuk berhasil, tetapi kesuksesan itu akan datang dari menarik investasi, bukan dari jalan sebaliknya menciptakan hambatan perdagangan dan investasi.

Muhamad Ikhsan adalah Peneliti Senior pada Paramadina Public Policy Institute Philip Stevens adalah Direktur Eksekutif Geneva Network, Inggris Raya

Leave a comment